Namaku Nessa, samaran tentunya. Saat ini aku sedang menyelesaikan
skripsi S1 di kota B. Berikut ini adalah salah satu isi diary-ku yang
ingin dipublikasikan ke khalayak ramai. Mohon maaf sebelumnya, tapi aku
ingin beritahukan bahwa aku menggunakan account email sobat tercintaku
Dytha, seorang cowok yang baik hati dan penuh perhatian.
Bandung, 6 Desember 1999
“Tok…tokkk…tokkkkkkk..”
“Nes, kuliah nggak loe?” suara Risa terdengar tak sabar menunggu di luar pintu kamar mandi.
Aku masih sempat terbayang perlakuan pria itu semalam. Lidah-lidahnya
benar-benar membuatku gila dan menyiksa semua syaraf-syaraf
kenikmatanku. Perlakuannya yang sulit ditebak, kadang cepat dan kasar,
kadang lembut penuh perasaan, membuatku terengah-engah melayang
bergoyang dicabik badai. Tiada henti dia membiarkan diriku santai
sejenak meresapi gesekan kulit dadanya di ujung-ujung payudaraku.
Vaginaku diserang habis-habisan dengan tusukan-tusukannya yang semakin
lama semakin menguras staminaku. Dansa kami di atas pembaringan berakhir
pada saat musik indah tergantikan suara hujan di luar sana.
Sial..!
Aku mendapati diriku basah kuyup oleh keringat dan baju tidurku yang tak
mampu menutupi tubuhku secara normal. Aku beranjak bangun dan membenahi
baju tidurku. Sekali lagi aku menghampiri pintu kamarku untuk
memastikan kondisinya yang masih aman terkunci. Jam 3:20, Masih beberapa
jam untuk melanjutkan tidurku. Aku terpaksa mengganti underwear-ku yang
basah oleh keringat bercampur cairan kewanitaanku. Mudah-mudahan pria
itu datang lagi ke dalam mimpiku. Berharap semu birahiku terpuaskan
kembali.
Hari ini benar-benar lembab dan dingin. Hujan telah mengguyur kota sejak
dini hari dengan tetesan-tetesannya. Kadang untuk beberapa puluh menit,
tetesan-tetesan itu terhenti seolah memberi kesempatan kepada manusia
untuk memikirkan langkah kehidupan selanjutnya. Langit temaram dengan
ditemani sinar mentari yang bermalas-malasan. Beberapa gumpalan awan
berkumpul seolah sepasang kaki wanita yang sedang berbaring manja.
Untung Risa juga ada kelas yang sama denganku jam 8 ini. Aku bisa ikut
menumpang mobilnya dengan aman dari rasa takut macet, basah, atau
berdesakan di angkot. Seperti biasa jika bermobil di pagi hari, Risa
menghindari simpang jalan D yang selalu macet dan semrawut. Tampaknya
lampu lalu lintas sedang ngambek menjalankan tugasnya. Cerita lama…
Kami dapat tiba dengan selamat tanpa kekurangan suatu apapun dan segera
menuju kelas kami masing-masing. Selama perkuliahan aku sedikit terpecah
berkonsentrasi dengan diiringi mulutku yang selalu menguap.
Hari ini bergerak seperti biasanya. Tiada yang menarik untukku selama
waktu yang berputar. Beberapa saat kemudian, aku sudah duduk termangu di
sebuah angkot yang membawaku pulang dari kampus tercinta. Risa mungkin
sudah pulang duluan. Aku ada kelas lebih dari satu mata kuliah hari ini,
pada hari Senen pula! Payung kesayanganku tetap setia mendampingi,
sambil sesekali tanganku mengibas rambut yang tertiup angin sejuk dari
jendela angkot itu. Entah mengapa desiran angin membuat gairahku kembali
bangkit. What’s wrong with me? Begitu tersiksanyakah tubuhku berharap
sentuhan dan lambaian seorang pria? Paddy, I really miss You, Honey! Aku
hanya bisa mendengar suaramu yang membentang laut dan samudra.
Kerinduanku memuncak saat hanya desahanmu yang terucap. Ohhh… Aku rindu
guratan merah di dadaku, tanda nakal yanng tersisa darimu. Hembusan
nafasmu yang melahap pori-pori perutku. Begitu cepatnya kewanitaanku
melembab hanya dengan sapaanmu yang menggoda. Paddy… I love you. I need
you. I want you!
Aku kembali duduk diam tanpa pikiran apapun. Dan tiba-tiba ia naik!
Cukup tinggi dan ramping. Kepalanya bergerak ke segala arah untuk
mencari tempat duduk yang cocok baginya. Ia menatapku sekejap seolah
meminta ijin untuk duduk di tempat kosong di sebelahku. Dengan cekatan
ia berbalik arah dan tanpa sengaja ransel di punggungnya menabrak
dadaku. “Damn!” runtukku dalam hati. Dengan segera ia memperbaiki posisi
duduknya dan tersenyum polos penuh penyesalan. Akhirnya ia bisa duduk
dengan tenang ditemani ransel kulit di atas pangkuannya. Ia mengambil
sapu tangan dari kantung jeansnya dan menyeka wajahnya. I don’t know why
but I like the way he is doing with his stuff. Tanpa sepatah kata, ia
bergerak bersandar dan mulai memejamkan matanya seolah menikmati ayunan
seorang ibu kepada anaknya yang mau tidur. He’s really cool and rilex.
Angkot bergerak membelah jalan mengarungi hujan. Satu persatu penumpang
turun dengan bergegas memusuhi hembusan angin dan hujan. Di simpang
Cisitu, angkot berhenti berharap tambahan penumpang yang hanya
menyisakan kami berdua, selain supir angkot tentunya. Aku meyakinkan
diriku untuk tidak membuang kesempatan ini.
“Pulang kuliah, Mas?” tanyaku tiba-tiba dan cukup mengagetkan dirinya.
“Nope. Cuma ngasih laporan praktikum ke lab aja. Tadi mampir sebentar ke
Aquarius nyari CD,” tetap dengan gaya bicaranya yang membuatku semakin
tertarik.
“Sekarang udach beli donk?” tanyaku lagi menyelidik.
Dia hanya nyengir dan kemudian menjawab lirih, “Ketipu nich gue. Shit!”
Aku hanya menatapnya bingung.
“Temen gue kemarin bilang dia lihat ada CD yang udach lama gue incer.
Gue datangi ke sana dan nggak ada tuch… Pake acara kehujanan lagi!”
lanjutnya sambil menghela nafas.
“Emang cari lagu apa sich?” tanyaku lagi.
“Jazz. Tau jazz?” tanggapnya dengan suara berintonasi sedikit mengejekku.
Kurang ajar nich cowok! runtukku dalam hati. Nggak tau apa dia berbicara
sama aku yang penikmat jazz juga? Tapi kuakui juga sich, di antara
teman-temanku yang cewek, populasi penikmat jazz-nya juga minim. Mungkin
dia berpikir aku hanya cewek yang suka musik musiman atau yang biar
dicap ikut trend doank.
“Aku suka Fusion. Kamu bukan penikmat mainstream, hip-hop, blues, ato
swing khan? tanyaku lagi dengan tatapan penuh penasaran menunggu
reaksinya. Tentu saja dia kaget! hihihihii…
“Aku tadi nyari The Best of Rippingtons. Di-release aja belum apalagi dijual…” dengan suaranya yang dibuat lebih hati-hati.
“Russ Freeman, khan? Setauku juga emang belum ada,” jawabku dengan suara bangga.
“By the way, aku Indra,” tangannya terbuka dan segera kubalas bersalaman singkat. “Nessa,” sambil tersenyum.
Tampaknya pembicaraan kami semakin menggairahkan sesuai kesamaan minat.
Angkot sudah bergerak kembali menuju tempat mangkalnya yang terakhir.
Apakah suatu kebetulan, rumah kost kami relatif dekat walau hanya
berjarak 200-an meter saja. Aneh juga sich, di daerah kost kami di
Cisitu Indah, angkot yang lewat cuma satu jurusan. Tapi kok nggak pernah
ketemu yach? Mungkin itu yang namanya jodoh? Atau nafsuku saja yang
menjebak? Aku menerima ajakannya untuk mampir ke tempatnya. Ia berasalan
untuk saling bertukar koleksi CD dan berharap aku akan mampir kelak. Am
I a slut or what? Tapi aku menikmati perlakuannya ketika kami sepayung
berdua menembus rintik hujan dengan rangkulan tangannya di pundakku. Aku
jadi teringat sebuah film Indonesia klasik yang pernah kutonton dan aku
tersenyum sendiri dibuatnya. Di depan kamar kostnya, ia berhenti
sejenak, membuka pintu, dan mempersilahkanku masuk.
“Tolong jaga sikap yach. Kamu di kamar orang!” cetusnya tiba-tiba. Aku
sempat bingung, tapi melihat senyumnya yang mengambang aku jadi
mengerti. Aku sadar biasanya tuan rumah ngomong, “Ayo silahkan jangan
malu-malu. Anggap aja kamar sendiri.” Tapi dia malah ngomong sebaliknya.
Sebal!
Sambil dia sibuk sendiri dengan barang-barang dan tas bawaannya, aku
punya kesempatan untuk memperhatikan isi ruangan. Kamarnya ditata rapi
walau agak sesak dengan barang-barang elektronik di sekelilingnya. Ada
poster kartun Donald Duck, Batman, dan beberapa poster lainnya. Tapi ada
poster yang membuatku lebih penasaran, “The Funeral of Superman”. Peti
mati Superman yang diusung oleh 6 jagoan, dan diikuti oleh semua
jagoan-jagoan DC Comics di belakangnya. Aku cukup terkesima melihat
banyak sekali figure-figure jagoan dalam 1 poster.
“Ambil dech tuch poster, kalo mau. Tapi harus bugil dulu depanku.”
Lagi-lagi ia membuat pernyataan sumbang dan nakal yang membuat kupingku
jadi agak panas. Kata-katanya memang kurang ajar untuk percakapan pada
awal-awal perkenalan. Aku sama sekali tidak tersinggung! Tapi pilihan
kata-katanya membuatku semakin penasaran. Berbeda sekali ketika kami
bercakap-cakap di angkot tadi. Apakah keberanian Indra timbul ketika aku
mau menerima ajakannya mampir? Apakah dia tipe pria yang membutuhkan
waktu dan situasi spesial untuk membuka topeng hasrat dan gairahnya? Ia
menyeruak masuk dengan tiba-tiba, sambil kedua tangannya membawa teh
hangat mengepul yang sepertinya nikmat sekali. Aku hanya mencibir
mananggapinya dan menghampiri teh hangat yang sudah diletakkannya di
atas meja belajar. Baru beberapa saat aku menikmati minumanku, dia sudah
melangkah keluar kamar lagi. Sibuk bener, pikirku singkat. Atau dia
gugup….. Tampaknya ia memang menungguku untuk bergerak duluan. Ia
seperti pria yang berusaha menahan situasi tetap terjaga, berharap sang
wanita memohon untuk dipuaskan. Aku mengalihkan pandangan pada suatu
benda yang kukenal sebagai CD tower. Kuhampiri dan dengan mata berbinar
kutelusuri deretan-deretan CD di depanku. Beberapa nama masih kukenal
seperti Boney James, Bob James, David Sanborn, Fourplay, Earl Klugh,
atau George Benson. Tapi Kirk Whalum, Kevin Mahogany, Mark Whitfield???
siapa tuch? Harus lebih banyak dengar musisi baru nich. Atau mereka
musisi senior? Atau aku saja yang kurang wawasan?
Beberapa saat kemudian, suara hujan kedengaran kembali semakin deras.
Suaranya bertalu-talu menampar genting dan dedaunan. Sesekali suara
guntur menggelegar membahana menemani desiran angin. Aku menarik salah
satu album Take 6 dan memainkannya di CD player Pioneer yang teronggok
di sebelah CD tower. Alunan “Biggest Part of Me” memenuhi kamar dan aku
kembali menyibukkan diri di depan CD tower seperti semula. Sekejap
terasa hangat sensual kurasakan di sekitar leher dan telinga. Bulu-bulu
halusku menegang menyapa hasratku yang merinding. Aku mengatup mataku
perlahan dan meresapi gejolak yang melanda tubuhku.
“Liked that, did you?” suara yang kukenal kembali menyapa.
Untuk menjawab pertanyaannya, kukibas-kibaskan tanganku seolah mendinginkan diriku yang terasa terbakar.
“Let it get hot,” katanya lagi.
“It already is.”
Tangannya menggosok punggungku. “Warm, but not hot yet.”
“Butuh seberapa panas nich?” tanyaku.
Indra bergerak perlahan menjauh dan menatap keluar jendela. Aku dapat
melihat detak nadinya di tenggorokan, Adam’s apple-nya bergerak sesaat
setiap waktu.
“Bener-bener dingin yea di luar,” katanya. Tapi sepertinya ia tidak membicarakan cuaca.
Aku menghampiri tempat tidurnya yang tertata rapi. Perlahan kubaringkan
tubuhku, dan rasa dingin sejuk merayap di sekujur kulitku.
“Sini.” Ia tampak ragu, kembali kami saling berhadapan, tapi matanya menerawang jauh.
“Take your shirt off.”
Perintah itu seolah membawanya kembali ke bumi dan perlahan ia duduk di
sisi tempat tidur. Ia menggigit bibir bawahnya, dan kembali lehernya
berdetak.
“Slowly.” Aku memberi petunjuk dengan senyum merekah.
“Ya,” jawabnya singkat layaknya pasien yang terhipnotis.
Jari-jarinya merenggut ujung bawah kaosnya dan melepasnya dengan sigap.
Terpampanglah dada seorang pria dewasa di depanku. Putingnya yang kecil
bulat menegang dengan bertaburkan bulu-bulu halus di sekelilingnya.
Urat-urat kebiruan sedikit menonjol di sepanjang lengan dan tangannya.
Ia memperhatikan mataku yang menyapu dadanya. Tiba-tiba lengannya
terangkat dengan tangan terbuka.
“Kenapa,” ujarnya penasaran.
“Gimme those hands.”
Ia merangkak mendekat di atas tempat tidur mendekatiku.
“Mau diapain?” sepertinya dengan pikiran yang berkecamuk.
“Celanaku basah.”
Ia tersenyum tertahan. “I hope so.”
“No. no. Aku tadi sempat kedudukan bangku yang basah waktu di angkot. Mau bantu aku melepaskannya?”
Ia berkata, “Boleh,” tapi sama sekali tak bergerak.
“Want me to?” Aku meraih ujung celanaku dan mengangkat pantatku. Ia
meletakkan salah satu tangannya di perutku untuk menahanku. Ia menatap
kakiku, dadaku, dan mulutku. Ketika ia menatap mataku, matanya kembali
turun ke bawah. “Sudah cukup lama,” katanya muram.
“Dan kamu udach lapar sekali, khan?”
Ia menarik nafas panjang memenuhi setiap sudut paru-parunya. Badannya
bergetar kembali. Aku dapat melihat ketegangan di balik celananya.
Posisinya benar-benar merangsangku seperti gelembung balon yang mau
pecah. Ia menggenggam dengan tangannya sendiri dan meremasnya. Keras.
Menghembuskan nafas dari hidungnya dengan menggigit bibir bawahnya.
Aku mengangkat kembali pantatku dan berusaha melepaskan celana katunku
beserta underwear-nya. Aku menunggu usapan tangannya dengan
berdebar-debar. Ketika tangan itu datang, elusannya benar-benar halus.
Kewanitaanku bergejolak menanggapi sensasi yang dibuatnya. Ia menarik
celanaku menggantikan kedua tanganku yang sudah meremas sprei tempat
tidur. Aku mengangkat kedua kakiku ke atas untuk memudahkannya terlepas
sempurna. Ia melipat celanaku rapi dan meletakkan underwear-ku
diatasnya. Tangannya kembali merenggut kedua pahaku dan
merenggangkannya.
Wajahnya diletakkan sedekat mungkin dari kewanitaanku. Ia menghirupnya
dalam dan menutup matanya. Sekarang giliran Indra yang melenguh
tertahan. Tiba-tiba, ia melepas pegangannya di pahaku. Ia bangkit dan
melepas celana jeans dan underwear. Kejantanannya mengacung lega di
antara kami berdua, menghadap atap kamar yang gemuruh diterpa hujan.
Bilur-bilur nadi di sekujur batang kemaluannya menambah nuansa
tersendiri. Ia menatapku sesaat dan mengangguk tanpa arti. Tanpa sadar
jari jemariku mulai melepas kancing kemejaku dan melempar ke mukanya.
Ia tidak kaget, bahkan menangkap kemejaku dengan sigap. Dan ritual
melipat pakaiannya terulang kembali. Aku memiringkan tubuhku.
“Would you mind?” sambil membuat lirikan manja.
Ia menghampiri dan menatapku tajam. Ia membantu melepaskan kaitan bra-ku
dan dengan sedikit gemas aku menggaruk punggungnya. Aku sudah mulai
tidak sabar. Aku tidak memperhatikan lagi kemana perginya bra-ku. Kedua
tangannya mendorong pundakku dan aku hanya mengikuti pasrah. Tubuhku
sudah mulai berkeringat dan kewanitaanku sudah semakin melembab.
Dinginnya sprei tempat tidur hanya memberikan kesejukan sementara pada
syaraf-syaraf kulitku yang terombang-ambing kenikmatan duniawi. Ia
kembali menatap dengan mata yang semakin berbinar seolah seorang anak
yang diberi mainan baru tanpa keinginan untuk memegangnya.
Kemudian badannya berbaring dan kepalanya mengarah pada wajahku. Tapi
perkiraanku ternyata meleset! Untuk beberapa saat ia mencari sesuatu di
atas kepalaku. Ketika ia kembali pada posisi duduk, mulutnya sudah
menggigit sebungkus kondom. Aku berusaha beranjak bangun dan menatap
antusias apa yang akan terjadi selanjutnya. Jari-jari tangan kirinya
menahan ujung penisnya yang sudah merah mengkilat dan menggulung karet
pengaman itu menutupi seluruh kejantanannya dengan jari-jari tangan
kanannya. Ia berlutut di atas tempat tidur dan jari-jarinya kembali
mengurut penisnya seperti meyakinkan posisi karet yang benar-benar
nyaman. Jujur saja, saat itu kepalaku sudah semakin pusing dan
desiran-desiran yang menyelubungi kewanitaanku semakin menjadi-jadi.
Kami melakukan foreplay tanpa sentuhan fisik yang berarti!
Ia menyelinap di antara kedua kakiku. Kedua lututnya yang terlipat
menahan kedua pahaku yang merenggang pasrah. I know this man is gonna
rock me. Aku menggapai belakang kepalaku untuk sesuatu sebagai pegangan.
Sesuatu yang bisa kugunakan sebagai jangkar sehingga aku dapat menahan
serangannya nanti. Rongga kewanitaanku melemas terbuka bersiap untuk
menelan sesuatu yang keras dan gemuk di hadapannya. Indra bergerak
sangat perlahan. Ia menatap ke bawah tubuh kami dan terkesima melihat
daerah pertempuran yang berada di bawah kontrolnya.
“Can I?” ia bertanya, suaranya ketat dan tinggi, seperti kejantanannya.
“Terserah!” dengan warna suara yang sudah tidak sabar lagi.
Action! Ia mendorong keras memasukiku, memenuhi rongga vaginaku,
mendesakku ke tempat tidur, dan badanku bergetar keras ketika ia
menariknya keluar. Selalu berulang. Keras. Menuju dalamnya tubuhku, dan
kembali. Menyusun irama kenikmatan menemani rain symphony.
“Rapatkan kakimu,” kataku memohon.
Ketika ia melakukannya, bukit kecil pelvisnya menabrak klitorisku.
Sensasional dan menyenangkan. Denyutan orgasmeku semakin nyata,
sayangnya belum cukup.
“I wanna roll over.”
“Yeah.” Ia berhenti bergerak di dalamku. Agak menarik mundur. Membiarkan
lututku pergi. Aku berusaha berbalik mengelilingi kejantanannya, tanpa
melepaskannya, sehingga tubuhku berada di atasnya sekarang. Ia meremas
pinggulku, seperti pengungkit, ia mulai memompa, mendesak, dan menusuk.
Kedua tanganku meremas dadanya, memilin puting payudaraku, dan menggaruk
paha kakinya. Aku mengangkat tubuhku sehingga dapat melihat batang
kemaluannya yang masuk-keluar menggesek-gesek bibir vaginaku. Aku
menggenggam bola-bola kejantanannya dengan tangan kiri, dan menjepit
klitorisku diantara telunjuk dan jari tengah tangan kananku.
Indra menggeram sekarang, dan tekanan di antara kami berdua membuat
udara di paru-paruku terlepas keluar membentuk desahan dan jeritan
tertahan. Aliran kenikmatan telah menjalar dari tumit sampai ke
ubun-ubun kepalaku. Ia menarik keluar penisnya dengan cepat. Vaginaku
terasa hampa tanpa arti. Aku merendahkan kewanitaanku berusaha menemukan
kembali kejantanannya. Batang kemaluannya terselip di antara
bibir-bibir vaginaku, tanpa berusaha untuk menerobos masuk kembali.
Kepala penisnya menemukan titik keras klitorisku lagi dan berulang. Aku
menekan jari-jariku untuk menahan batang kemaluannya tetap pada posisi
itu.
“Kayaknya sebentar lagi nich. Aku akan meledak sebentar lagi,” kataku sambil terengah-engah.
“Bilang aja kalau udah deket,” bisiknya di telingaku.
Erangan kenikmatan sudah tidak bisa kukendalikan lagi. Mulut Indra
berusaha untuk membungkamku, mengurangi keliaranku. Aku tidak bisa
menahannya walau sudah berjuang keras. Dan aku benar-benar menikmatinya.
Ia mendorong kembali pinggulnya dan memasukiku. Ia membenamkan wajahnya
di leherku. Aku dapat merasakan denyut nadi di batang kemaluannya, dan
kekagetanku yang membuatku melayang ketika tangannya meremas payudaraku
dan memilin putingku dengan keras. Perlahan kami berusaha menormalkan
kembali pernafasan. Ia membaringkan tubuhku kembali di atas tempat tidur
dan meletakkan tubuhku di sisinya. Ia menciumi dengan lembut leher dan
dadaku.
“Thanks,” ucapnya lirih.
“Lagi…..,” jawabku manja.
Hari ini terpaksa makan siangku digabung dengan makan malam. Indra
benar-benar kujadikan pemuas dahagaku. Kerinduanku seakan terjawab
ketika berbaring di atas kasur yang basah dan lengket. Aromanya
membuatku mabuk dan lemas. Aku pun harus dibantu untuk melangkah keluar
kamar. Selama aku di kamar mandi pun, Indra harus mengecek untuk
memastikan bahwa aku tidak pingsan akibat staminaku yang terkuras habis.
Ketika pulang, ia mengantarku sampai di depan kamar kostku dan
memberikan ciuman kilat di bibirku. Ia menolak dengan tegas undanganku
untuk mampir sebentar menikmati nyamannya kamar kostku. Aku mengerti
mendengar alasannya yang harus menyelesaikan tugas kuliah malam ini.
Sebetulnya staminaku telah kembali seperti semula. Dan aku siap untuk
melakukan posisi-posisi bersetubuh lainnya.
Dengan air hangat, aku membersihkan tubuhku dan meresapi kembali
kenikmatan yang tersisa. Semua pikiran dan emosi yang mengarahkanku pada
cinta telah kubuang jauh-jauh. Aku tak mau terjebak di antaranya.
Biarlah pangeranku yang nun jauh di sana dapat merasakan getaran hatiku.
Semoga kasihku berkenan datang dalam mimpiku malam ini. Aku berjanji
takkan kulepas tubuhmu walau hanya sesosok bayangan. Selamat malam, my
sweetheart. See you in dream.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar